Ancaman Gempa Bumi yang Terus Menerus di Aceh
Gempa yang mengejutkan Aceh pada 2 Juli, adalah peringatan terbaru bagi kita semua akan tingkat kerentanan dari provinsi yang memiliki bahaya geologi. Penampang melintang di bagian tengah dari Aceh yang dikenal sebagai Zona Patahan Sumatera (SFZ) yang membagi dua Pulau Sumatera.
Menurut US Geological Survey (USGS), patahan Sumatera diklasifikasikan sebagai perubahan struktur utama yang bergeser 10-27 milimeter per tahun.
Bagaimanapun juga, beberapa area di sepanjang penampang melintang, terutama di sekitar provinsi Aceh, telah diantisipasi oleh banyak ahli geologi sebagai salah satu celah seismik yang paling memungkinkan di darat karena mereka belum bergerak selama lebih dari satu abad.
Sejak 1892, tidak ada pulau yang mengalami gempa bumi dengan magnitude yang terekam lebih besar daripada 6.0. Tiga gempa bumi terjadi pada 2 Juli (magnitude 6.2, 5.3 dan 5.1) yang mengindikasikan perpindahan lateral dari segmen di sepanjang Patahan Sumatera.
Walaupun gempa diklasifikasikan sebagai medium dalam hubungan dari magnitude, mereka berbahaya karena kedangkalan episenter nya. Gempa bumi yang dangkal dengan magnitude 6.2 menguatkan energinya ke permukaan lapisan tanah di sekitar episenter yang menghasilkan bahaya besar terhadap bangunan-bangunan dan infrastruktur di sektiar area yang terkena dampak.
Kabupaten Aceh tengah didominasi oleh lapisan sedimen vulkanik yang tebal yang dapat memperkuat kekuatan kerak bumi yang mendalam untuk salah satu yang sangat besar di permukaan. Ini berpotensial bisa menghancurkan sebagian besar konstruksi bangunan di sekitar area. Ini menjelaskan mengapa banyak sekali bangunan diratakan oleh gempa bumi.
Ahli geologi dan ahli sains lainnya telah memperingati orang-orang dan pemerintah lokal bahwa gempa bumi yang utama bisa terjadi kapanpun.
Kebingungan dan kecemasan menyibukkan pikiran orang-orang di sekitar kabupaten Bener Meriah karena informasi yang tidak jelas yaitu gempa bumi dipicu oleh aktivitas magma dari Burni Telong.
Orang-orang ditakuti bahwa erupsi gunung berapi akan mengikuti hasil dari perpindahan magmatik. Tidak banyak informasi yang tersedia untuk orang-orang biasa apakah asumsi tersebut benar atau sebaliknya. Walaupun klarifikasi sudah dibuat, informasi barusaja sampai ke masyarakat di waktu awal peristiwa.
Perbedaan antara gempa vulkanik dan gempa tektonik dapat dibedakan berdasarkan kerusakan yang disebabkan dan berdasarkan hasil pemantauan seismik gunung berapi. Yang pertama agak mudah dimengerti oleh masyarakat.
Letusan gunung berapi seharusnya memiliki indikasi awal seperti gempa bumi kecil, asap dan gas yang dilepaskan dari kawah dan kadang-kadang tingkah yang tidak biasa dari hewan bisa menjadi sebuah indikasi.
Belum, pemahaman belum ada di antara orang-orang. Evakuasi masa dan kepanikan terlihat karena hasil dari informasi yang membingungkan.
Informasi tentang bencana telah mencapai bagian penting dari masyarakat dan pegawai pemerintahan di area tersebut. Sebelum gempa 2 Juli, sebuah gempa bumi dengan magnitude 5.0 yang terjadi pada Agustus 2009 memiliki peringatan yang jelas. Gempa 2009, walaupun ini diklaim tidak bahaya, namun menyebabkan infrastruktur umum dan rumah-rumah penduduk runtuh.
Pada saat itu, sebuah rapat untuk orang-orang penting di Aceh tentang ancaman itu disampaikan. Diharapkan bahwa pihak-pihak yang terkait akan mengambil langkah konkrit ke arah untuk menciptakan wilayah yang kuat.
Tim kami menemukan bahwa kombinasi dari kekuatan gempa bumi dan kualitas rendah dari bangunan dalam wilayah yang mengakibatkan jumlah kerusakan pada 2009. Sejak saat itu, belum ada perbaikan yang signifikan diamati pada aturan-aturan bangunan dan kualitas kontrol dari bangunan itu sendiri.
Gempa bumi yang terbaru adalah bukti nyata dari kombinasi mematikan antara bahaya dan kurangnya kesiapan terhadap gempa bumi yang menyebabkan kerusakan parah dan sejumlah korban.
Belajar dari urutan gempa bumi tersebut, pertanyaan tentang tindakan yang bisa dilakukan bisa ditingkatkan. Kenapa ancaman nyata dari gempa bumi kebanyakan dihiraukan? Bagaimana seharusnya informasi disampaikan untuk membuat perubahan yang penting dalam masyarakat dan dalam penegakan aturan membuat wilayah yang tahan bencana?
Disaster Risk Reduction (DRR) menjangkau di kabupaten yang terletak di sekitar gunung Bukit Barisan di provinsi Aceh kurang akrab daripada kabupaten lain yang terkena tsunami 2004. Sejak 2005 sampai sekarang, banyak program DRR memfokuskan pada penambahan masyarakat dan kapasitas wilayah terhadap tsunami dan banjir.
Kurangnya perhatian telah dibayar pada gempa bumi dan ke wilayah pusat di Aceh. Hal ini memberikan kontribusi untuk membuat masyarakat yang kurang menyadari karena modus komunikasi yang digunakan dalam kampanye pengurangan risiko bencana. Walaupun informasi yang relevan telah diberikan kepada pembuat kebijakan di wilayah ini, kampanye informasi tersebut mungkin belum sampai kepada masyarakat secara langsung yang terkena bencana.
Di sisi lain, walaupun ada informasi langsung tentang pengurangan resiko gempa bumi, komunikasi terbatas dalam jangkauannya karena secara terbatas digunakan untuk menginformasikan kepada masyarakat.
Juga, masyarakat di wilayah pusat menggunakan bahan bangunan lokal untuk membangun rumah mereka. Menurut ilmu teknik sipil, semen harus mengandung material yang bermutu spesifik.
Bagaimanapun juga, lokasi untuk bahan tambang sulit ditemukan di sekitar kabupaten karena medan yang sulit. Masyarakat menggunakan bahan yang dinilai buruk yaitu lembek dan hasilnya elemen struktur bangunan kurang padat dan rapat.
Penggunaan bahan beton yang ringan telah diajukan dan telah menarik sedikit perhatian dari masyarakat untuk mengganti bahan beton berat yang tradisional dengan yang ringan. Beton yang ringan dapat mempertahankan getaran gempa bumi lebih baik daripada yang berat. Bahan-bahan bangunan yang tradisional yaitu seperti bata dan bahan berat lainnya telah lama digunakan oleh masyarakat. Masyarakat enggan untuk menerapkan konsep baru dalam membangun rumah dengan perkembangan baru yaitu dengan bahan yang ringan.
Analisis lebih lanjut pada perencanaan tata ruang wilayah mengungkapkan bahwa, walaupun ini mengandung prinsip mitigasi bencana, tidak banyak detail dari peraturan konstruksi bangunan telah dibuat untuk mendirikan bangunan yang tahan gempa.
Ancaman dari SFZ terus menerus masih ada. Sebuah celah seismik yang besar masih terletak dari wilayah aceh tengah sampai ke area utara kota Banda Aceh. Jutaan orang hidup di area ini dan triliunan rupiah infrastruktur yang berharga telah dibangun. Ini benar-benar sangat menyedihkan bahwa celah seismik masih ada dan ada kemungkinan untuk bencana yang utama.
Semua wilayah dan peraturan-peraturan pengembangan kota dan sistem-sistem mengenai pemantauan dan pengawasan haruslah ditinjau secara menyeluruh/seksama untuk menyelamatkan Aceh dan masyarakatnya.
http://www.thejakartapost.com/news/2013/07/10/a-constant-threat-earthquakes-aceh.html