Age isn’t a Matter
Dalam perjalanan saya kemarin di Gunung Kinabalu sampai Puncaknya (Low’s Peak), banyak hal-hal yang telah saya temukan dan saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Mulai dari kehidupan FLora dan Fauna disana, kebudayaan orang-orang pribumi disana, kebiasaan, tingkah laku dan yang lainnya.
Untuk orang pribumi yang ada disana, saya sangat menundukkan kepala saya terhadap apa yang mereka kerjakan yang terlihat saya saat perjalanan mendaki kinabalu maupun saat turun. Orang pribumi disana memang terlahir dalam kawasan gunung maupun kaki gunung kinabalu. Suku asli yang memiliki kekuatan bawaan sejak lahir yang diturunkan oleh nenek moyang mereka.
Selama perjalanan saya mendaki kinabalu, dari awal start pendakian sampai di titik istirahat (Laban Rata) saya melihat manusia-manusia kuat itu yang berjalan dengan laju (laju dalam bahasa melayu artinya cepat) menaiki track yang terbilang grade tinggi itu. Ada yang saya jumpai saat mereka naik maupun ada yang sedang dalam perjalanan turun.
Mereka tidak seperti kami para peserta pendakian gunung kinabalu ini yang hanya membawa perlengkapan pribadi kami, ditambah makanan-makanan maupun perlengkapan tambahan lainnya. Mungkin ada sebagian pendaki yang menenteng beban mereka dengan Carrier yang berisi sekitar 10-14 kg. Namun setelah apa yang saya lihat kemarin, saya sangat merasa bahwa masih jauh dari kata kuat dan sangat cocok dengan kata lemah.
Yang pertama saya lihat yaitu seorang porter yang membawa barang bawaan peserta pendakian yang mungkin tidak sanggup membawa barang mereka namun ingin membawa nya ke atas makanya mereka menyewa porter yang bayarannya dihitung dari berat beban. Kemudian ditambah lagi kegilaan mereka yaitu porter yang mengangkut bahan-bahan makanan untuk penginapan di atas sebab tempat makan di Laban Rata semua makanannya disortir dari bawah. Dan tidak menggunakan akses lain sealin mereka sang Porter.
Jadi, makanan yang kami (para pendaki) makan di Laban Rata yaitu hasi dari mereka yang bawa.
Kemudian, barang yang lebih berat lagi yaitu membawa kebutuhan tambahan yang akan diperlukan oleh semua orang yang ada di Laban Rata seperti kebutuhan Dapur, Mandi dan lain-lain.
Dan ini hal yang paling saya angggap hal yang paling gila, yang memang sampai sekarang masih tidak bisa diterima oleh akal pikiran saya secara logika. Untuk orang biasa seperti saya, saya wajar menganggapnya gila, iya, mereka yang melakukan ini adalah orang gila. Di daerah Laban Rata sedang dalam tahap penambahan tempat penginapan yang juga terbuat persis seperti bangunan Laban Rata yang sekarang, terdiri dari rangka besi, bata, semen dan juga pastinya ditambah dengan fasilitas lainnya seperti fasilitas air mapun listrik.
Manusia seperti apa yang dapat mengangkut besi rangka seberat 60-75 kg dan itu dilakukan hanya oleh 1 ataupun 2 orang. Mungkin banyak orang yang dapat mengangkut seberat itu, namun ditambah dengan track yang seperti di kinabalu mountain bagaimana?
Inilah yang mereka lakukan selama ini.
Para porter sudah mulai bekerja jam 7 pagi, mengambil barang yang akan diangkut, membawanya ke Laban Rata, setelah itu mereka turun kembali, kadang-kadang mereka menyambung lagi membawa barang-barang tersebut, naik lagi ke Laban Rata, dan turun. Selesai. Malam adalah waktu istirahat mereka. Besok hari mereka kembali bekerja seperti hari-hari biasa. Luar Biasa
Terlihat pada salah satu gambar, yang mengangkat bongkahan tisu seperti itu yaitu seorang wanita tua yang usianya 50. Dalam hal ini, tidak dikenal namanya perbedaan gender dalam masalah pekerjaan. Mereka semua disini harus kuat dan memang kuat. Mereka sudah dilahirkan di daerah yang seperti ini. Hal yang mengerikan juga dapat dilihat pada gambar anak-anak remaja yang juga terlibat dalam pekerjaan ini. Terlihat dua orang remaja tersebut mengangkat sebuah pondasi yang beratnya lebih kurang 100 kg. Hanya diangkat oleh mereka berdua dengan mengkreasikan posisi nyaman mereka saat mengangkat barang tersebut, ada yang membalutkan bahu mereka dengan kain, melapisi besi pondasi tersebut dengan kain, apasaja yang penting mereka yang merasakannya nyaman dan besi itu harus sampai di atas.
Kekuatan dan kecepatan mereka tidak perlu ditanya lagi, sebab saat kami mulai mendaki jam 10, beberapa porter turun dengan berlari menuju titik star
Salah seorang porter yang berusia 57 tahun, saya tanyakan mengenai hal ini. Mendengar ceritanya, kita seperti belum bisa merasakan syukur hidup ini. Cerita beliau seperti ini :
“kami memang dilahirkan di daerah yang kehidupannya keras seperti ini, kami tidak pernah merasakan kemewahan sejak kecil, kami tidak merasakan rasanya main-main seperti anak kecil jaman sekarang. Lihat anak-anak remaja tadi, mereka itu tetap menyelesaikan sekolahnya, namun hanya sampai tahap menengah. Mereka tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah mereka, ya jadi mereka memutuskan untuk berhenti sekolah dan mengambil pekerjaan seperti ini. Nanti kalau mereka sudah punya cukup biaya, mereka akan lanjutkan sekolah mereka lagi”. Untuk seorang porter wanita seperti saya dan teman-teman saya yang lainnya, kami sudah 30 tahun lebih menekuni pekerjaan seperti ini. Kami mengambil pekerjaan ini juga saat-saat belia. Kami mempunyai adik-adik yang banyak, orang tua kami tidak mampu memberikan biaya lebih untuk kebutuhan kami, ya jadi kami harus memberi makan adik-adik kami lah, yang penting adik-adik kami bisa hidup yang sedikit layak lah. Begitu
Dikarenakan cerita sudah mulai merujuk ke tahap sedihnya, saya menghentikan segala pertanyaan mengenai itu dan sudah sedikti memahami tentang betapa kerasnya hidup ini. Saya sempat kepikiran untuk menanyakan berapa gaji yang mereka terima, sebab saya tahu, penghasilan mereka akan dibagi dengan pihak yang memiliki kawasan tersebut. Namun itu tidak mungkin karena saya merasa tidak enak.
Yang saya senangi lagi dengan para porter-porter itu ialah saat kami berpapasan dengan mereka yang sedang membawa angkutannya, mereka masih sempat untuk menyapa dan tersenyum kepada kami yangmana kami bukanlah siapa-siapa, dan baru jumpa pada saat itu, namun mereka tetap mau menyapa.
the end