Soe Hok Gie dan Kemanusiaan Kaum Muda
Soe Hok Gie (1942-1969) adalah seorang manusia biasa, tidak berkekuatan super , bukan pula seorang selebritas tenar yang mempunyai bakat seni. Soe Hok Gie adalah seorang intelektual muda. Lebih lengkapnya intelektual muda yang merdeka. Kisah hidupnya mungkin tak jauh dari sebagian besar kaum muda sekarang, belajar di perguruan tinggi, diskusi sana-sini, dan juga bersenang-senang. Gie adalah seorang pribadi yang merdeka, mengetahui siapa dirinya, apa yang dia mau dan apa yang ia bicarakan. Sebut saja adegan dalam film Gie (2007) yang telah melalui riset tentang pribadi Soe Hok Gie senddiri, Gie tidak asal ngomong.
Gie bicara tentang langgengnya kekuasaan Presiden Soekarno yang diangkat menjadi Presiden Indonesia seumur hidup. Gie bersama teman-temannya seperti Mochtar Lubis, Arief Budiman, mengadakan diskusi tentang permasalahan tersebut. Soe Hok Gie menerbitkan tulisan tentang topik tersebut berjudul “Pelacuran Intelektual” dimuat pada Harian Sinar Harapan 21 April 1969. Soe berani megutarakan pendapat setelah sebelumnya banyak membaca buku, berbincang. Bukunya macam-macam, Albert Camus, Karl Marx, Pramoedya Ananta Toer, karena memang buku yang ada zaman itu hanya buku-buku tersebut.
Saya tidak akan membahas bagaimana Gie menjadi simbol mahasiswa generasi setelahnya. Sudah cukup romantisme sejarah, mengharapkan sosok Gie hadir kembali dalam melawan rezim sekarang ini. Toh, setiap zaman akan melahirkan anak-anak sendiri dnegan tantangan yang berbeda. Pergerakan kemerdekaan melahirkan kaum muda seperti Boedi Oetomo, kemudian Soekarno, muncul Gie, setelah itu ada para aktivis 98, belum lama ini Munir juga menjadi ikon kaum muda. Sedang sekarang? Mungkin masih dalam proses menuju lahir kaum muda yang ikonik. Saya akan membahas Gie dalam kacamata kemanusiaan seorang muda.
Zaman masa Gie Hidup adalah era yang sangat politis. Kaum muda beridentitaskan ideologi politik tertentu, perbincangan di kampus tak lepas dari gerakan mahasiswa yang berlatar belakang ini itu. Gie, dalam penggambaran di film tersebut adalah sosok yang merdeka. Ia tidak tergabung dalam organisasi politik ekstra kampus yang kerap ditunggangi kepentingan partai politik yang saat itu haus kekuasaan. Gie tergabung dalam kelompok diskusi, screening film dan mahasiswa pecinta alam. Namun, dengan begitu ia tidak kemudian menjadi seorang apatis. Gie yang pendiam dan sering merasa kesepian, pada kenyataannya sangat perhatian kepada sekelilingnya, pada bangsanya, terutama kemanusiaan. Kecintaannya terhadap orang-orang sekitarnya digambarkan begitu apik di film. Bagaimana Gie gelisah dengan orang-orang yang mengais sampah untuk makan, sedangkan Soekarno sibuk menjadikan politik sebagai garda depan, melupakan ekonomi.
Gie hobi naik gunung, ia keranjingan belajar, terutama pada alam.Pernah, Gie mengutip Walt Whitman, seorang jurnalis dan penyair terkenal Amerika, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”. Gie bersama teman-temannya lain mendirikan Mahasiswa Pecinta Alam pertama di Indonesia, di tempat ia belajar, Fakultas Sastra Univeritas Indonesia. Lalu istilah Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) menjadi terkenal dan paten untuk mengidentifikasi mahasiswa yang suka naik gunung. Dalam buku hariannya, ia pernah berkata “Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” Di satu sisi ia adalah seorang demonstran yang sering berteriak di jalan memprotes sesuatu, di waktu lain ia senang menyendiri bersama alam.
Gie sangat suka dengan musik, terutama musisi jazz Joan Baez. Piringan hitam Joan Baez milik Gie bahkan pernah disita oleh polisi saat Gie akan berangkat ke Amerika Serikat dan Australia karena ia dianggap komunis. Saat mendaki puncak gunung Semeru, menjelang kematiannya di sana pada 16 Desember 1969 ia minta trus dinyanyikan lagu Donna Donna milik Joan Baez. Gie juga begitu tergila-gila dengan falsafah dibalik lirik dalam lagu-lagu,s eperti pada lagu para orang Negro yang berjudul Nobody Knows. Gie dalam pikirannya yang begitu dewasa tidak meninggalkan sisi mudanya.
Buku,pesta, dan cinta. Kata Gie, untuk menggambarkan masa muda. Intimasi dalam film Gie tersebut juga mendapatkan porsi yang cukup besar. Apalagi apabila sempat membaca buku baru tentnag Gie yang berjudul “Soe Hok Gie..Sekali Lagi” yang disusun oleh teman-temannya, Rudi Badil, Luki Sutrisno Bekti, dll. Gie yang puitis kenyataannya tidak bisa lepas dari masalah percintaan. Persahabatannya dengan Kartini Sjahrir (akrab dipanggil Kerr, sekarang Duta Besar Indonesia untuk Argentina) tidak mudah didefinisikan untuk sekedar seorang sahabat. Ada yang lebih, demikian tertuang dalam Surat Kerr untuk Gie dalam buku tersebut. Dalam film tokoh Kerr hadir dalam peran Ira (Sita Nursanti) yang sedih sekali saat Gie (Nicholas Saputra) meninggalkan puisi untuknya sat naik ke Semeru. Sisi kemanusiaan lain yang sering dibicarakan Gie adalah kematian. Gie pernah menulis dalam catatan hariannya bahwa sebelum kematiannya, ia ingin mengobrol dengan teman-teman terdekatnya. Beberapa waktu sebelum kematiannya, ia pernah berkeluh kesah pernah bosan hidup. “”Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
Gie adalah seorang manusia yang merdeka. Ia hidup dan sadar akan apa yang selama ini diahidupi, yaitu kemanusiaan itu sendiri. Sosoknya yang penyendiri, banyak berfikir, anti kemapanan, tak suka kepalsuan adalah figur yang memang harus ada di era tersebut. Kemanusiaan yang merdeka, yang dipunyai Gie, seharusnya menjadi idealisme sejati kaum muda sekarang ini.
sumber : http://britbrita.wordpress.com